Pages

Monday, March 15, 2010

Dji Sam Soe Legenda Rokok Indonesia

RUMAH kuno itu tak lagi berpenghuni. Pagarnya tertutup seng. Ketika didatangi Tempo tiga pekan lalu, tampak empat petugas bergantian menjaga rumah. Di rumah inilah Liem Seeng Tee, pendiri HM Sampoerna, mengawali sejarah pada 1927.
Beralamat di Jalan Ngaglik, Surabaya, rumah ini—selain menjadi tempat tinggal—dulunya berfungsi sebagai gudang tembakau dan pabrik rokok. Selama lima tahun Seeng Tee menguji berbagai campuran rempah dan cengkeh di rumah ini. Dji Sam Soe salah satu produknya. Dari rumah ini pula Dji Sam Soe mulai diproduksi secara masif.

Formula rokok ini dibuat 15 tahun sebelumnya, saat Seeng Tee masih bekerja di pabrik rokok kecil di Lamongan. Tugasnya kala itu meracik dan melinting rokok. Belakangan, racikannya menjadi cikal-bakal formula Dji Sam Soe.
Penghasilannya di pabrik ditabung untuk menyewa warung di Jalan Cantian Pojok—kini Jalan Pabean Cantian, Surabaya. Berukuran empat meter persegi, beratap ilalang dan bertiang bambu, warung tanpa dinding ini menjual aneka makanan dan minuman. Replika warung itu kini dapat dilihat di House of Sampoerna di Jalan Taman Sampoerna, Surabaya.

Hidup Seeng Tee tidak cuma bersandar dari warung. Ia dan istrinya, Tjiang Nio, mencampurkan rempah-rempah, seperti cokelat, vanili, pala, kayu manis, dan cengkeh, ke dalam tembakau. Campuran ini dilinting dengan tangan menjadi rokok.

Berbekal sepeda onthel, pria kelahiran Provinsi Hokkian, Cina daratan, itu berkeliling Surabaya berjualan rokok. Oleh Tjiang Nio, perempuan yang dinikahinya pada 1912, uang hasil usaha itu disimpan di dalam tiang bambu penyanggarumah. Sebagian tabungan digunakan kembali untuk membeli tembakau. Agar usahanya berkibar, Seeng Tee membentuk badan hukum Handel Maatschappij Liem Seeng Tee pada 1913. Nama ini kemudian menjadiPT Handel Maatschappij Sampoerna— setelah perang kemerdekaan usai, namanya berubah menjadi PT Hanjaya Mandala Sampoerna.
Pemilihan kata Sampoerna, kata Elvira Lianita, Manajer External Communication PT HM Sampoerna, memiliki dua makna. Kata itu merupakan ejaan dari kata ”sempurna”. Kedua, kata ”sampoerna” berjumlah sembilan huruf. ”OrangCina percaya sembilan merupakan angka keberuntungan,” katanya.Kemasan Dji Sam Soe memang sarat dengan angka sembilan. Berasal dari bahasa Hokkian, Dji Sam Soe berarti dua, tiga, dan empat. Bila dijumlahkan, hasilnya sembilan. Logo kemasan berupa sembilan bintang.
DARI Ngaglik, Seeng Tee pindah ke kawasan Jembatan Merah pada 1932. Ia membeli bangunan milik Jongens Weezen Inrichting, yayasan panti asuhan milik pemerintah kolonial Belanda. Di atas lahan 1,5 hektare, pabrik sekaligus tempat tinggal dibangun pada 1864. Sejak enam tahun lalu, gedung itu berfungsi sebagai Museum House of Sampoerna.
Sejak itu, usaha Seeng Tee makin moncer. Dengan 1.300 karyawan, produksi pada 1940 menembus 3 juta batang per minggu. Menurut Hermawan Kartajaya, Yuswohady, dan Sumardy dalam buku 4-G Marketing: A 90-year Journey of Creating Everlasting Brands, Dji Sam Soe bahkan pernah menjadi ”mata uang” pedagang masa itu karena nilainya lebih stabil ketimbang mata uang resmi. Permintaannya membeludak. Agen harus menunggu dua-tiga minggu untuk memperoleh pesanan.
Usaha rokok Seeng Tee berantakan setelah Jepang masuk pada 1942. Ia ditahan dan menjalani kerja paksa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pabriknya digunakan buat memproduksi rokok merek Fuji untuk tentara Jepang. Beruntung, seluruh keluarganya selamat dalam persembunyian. Seusai perang, pabrik dalam kondisi porakporanda. Harta keluarga dan perusahaan dirampas Jepang. Satu-satunya aset cuma merek dagang Dji Sam Soe. Seeng Tee berusaha menata kembali usahanya. Berkat merek ini, mitra bisnis Seeng Tee kembali berdatangan. Mereka menyuplai cengkeh, tembakau, dan bahan baku lain.
Perlahan-lahan Dji Sam Soe kembali berkibar. Pada 1949, pabrik sudah pulih seperti semula. Situasi ini cuma berlangsung hingga 1956. Setelah Seeng Tee meninggal pada tahun itu, Sampoerna jeblok. Mesin pelinting tidak beroperasi. Pekerja tidak mencapai 150 orang. Tiga tahun kemudian, pabrik ditutup karena paili
RODA bisnis keluarga Sampoerna kembali bergerak setelah Liem Swie Hwa, putra tertua Seeng Tee, meminta adiknya, Liem Swie Ling—yang telah membuka perusahaan rokok merek Penamas di Bali—memindahkan perusahaan rokoknya ke Malang pada 1965. Di tengah kuatnya arus rokok putih di pasar, Swie Ling berkonsentrasi membesarkan kembali Dji Sam Soe.
Swie Ling alias Aga Sampoerna memulai dari nol: membeli tembakau secara tunai, menjual rokok dengan tunai, dan membangun perusahaan berdasarkan arus kas harian. Nama besar Dji Sam Soe menjadi penyelamat. Agen kembali berdatangan.

Dalam 12 tahun, pabrik kian berkembang. Karyawan lebih dari 1.200, dengan produksi 1,3 juta batang rokok per hari. Ia berpedoman tidak boleh ada rokok menginap di pabrik meski sebagai persediaan. Produksi hari itu harus dijual hari itu juga. Hasilnya, Dji Sam Soe untung US$ 200 ribu per bulan.
Pada 1977, Aga mulai melibatkan Putera Sampoerna, anak bungsunya. Salah satu terobosan Putera adalah meniadakan agen dari rantai distribusi. Ia membuat fasilitas produksi terpadu seluas 153 hektare di Sukorejo, Jawa Timur, dan membeli tembakau langsung dari petani. Ia juga mengubah usaha menjadi perusahaan terbuka. Hasilnya, penjualan Dji Sam Soe meroket dari 21 juta batang per minggu pada 1980 menjadi 64 juta batang per minggu pada 1991. Pada 2000, penjualan Dji Sam Soe menembus 18,9 miliar batang per tahun. ”Merek ini tulang punggung perusahaan,” kata Eka Darmajanto Kasih, orang dekat keluarga Sampoerna.
Kunci keberhasilan penjualan, kata Eka, terletak pada konsistensi perusahaan dalam mengkomunikasikan kualitas merek ke pelanggan.
Alhasil, citra yang tertancap di pelanggan selalu sama. ”Ini menciptakan loyalitas konsumen,” kata bekas Chief Financial Officer HM Sampoerna itu. Tradisi angka sembilan juga dipertahankan. Mobil Rolls-Royce milik Aga, misalnya, berpelat nomor SL-234. Semua mobil pabrik di Sukorejo dan Rungkut memakai pelat nomor yang bila dijumlahkan hasilnya sembilan. Luas tanah di pabrik Sukorejo hasilnya sembilan. Penjumlahan saham Sampoerna ke publik juga sembilan.
Empat tahun lalu, saat berada di puncak, Putera melepas 40 persen saham HM Sampoerna—induk Dji Sam Soe—ke Philip Morris. Kapitalisasi pasarnya ketika itu US$ 5 miliar. Perusahaan Amerika Serikat yang terkenal dengan merek Marlboro itu merogoh kocek US$ 2 miliar.
”Tak cuma membeli saham, Philip juga membeli merek dan budaya perusahaan,” kata (almarhum) Anky Camaro, bekas Presiden Komisaris HM Sampoerna, ketika itu.



Sumber WWW. Tempo Interaktif.COM

No comments:

Post a Comment